Suatu
sore, tampaklah seorang ibu, dengan lima orang anaknya, sedang berkumpul
di dapur. Mereka mengelilingi sebuah meja dimana diatasnya terdapat
'potongan' kertas dan kotak melukis yang berisi delapan warna dan
sebatang kuas. Mereka akan melukis bersama-sama, belajar menggambar
bunga.
Di
tengah keasyikan dan kegembiraan melukis, tiba-tiba ada nuansa
ketidaksenangan dari anak perempuan terkecilnya. "Ada apa, sayangku?",
tanya si ibu. "Salah satu kelopak bungaku tampak seperti daun" jawab
anak kecil itu, hampir menangis karena kelopak bunganya tidak tampak
seperti kelopak bunga. "Biar kulihat", ujar si Ibu. "Oh ya, baiklah.
Tambahkan dengan warna hijau. Sekarang, kelopak bunga itu berubah
menjadi daun". Tentu saja si anak tidak jadi menangis.
Ia tertawa
gembira cerita
di atas saya cuplik dan tutur ulang dari pengalaman nyata Margo
Marshall - Olmstead akan ibunya saat mereka tinggal di Ferryden, sebuah
desa nelayan si pesisir timur Skotlandia (Lesson from Mom, 2004).
POTENSI IBU
Briliyan
!!!! Hebat !!!!! Luar biasa !!!!!. Itulah yang deretan kata (dan masih
banyak lagi yang lainnya) yang pantas kita ucapkan sebagai apresiasi
terhadap cara ibu tersebut mengatasi 'masalah' yang dihadapi anak
perempuannya. Ia seakan paham betul dengan kata bijak Pablo Picasso,
seorang pelukis genius, bahwa 'Setiap bocah adalah seniman. Masalahnya
bagaimana cara mempertahankannya agar ia tetap menjadi seniman ketika
dewasa'. Itu sebabnya ia berupaya agar anak perempuan terkecilnya tidak
patah semangat, sehingga dapat terus mengembangkan potensinya sebagai
seniman.
Tindakan
yang ia ambil, tidak saja mencerminkan kecerdasan intelektualnya, namun
juga menggambarkan kecerdasan emosinya, kemampuannya berempati. Ia
memahami betul bila anak perempuannya bukanlah dirinya, yang sudah
piawai melukis bunga. Ia mampu membuat anaknya tetap merasa berhasil
(menggambar daun), walaupun hal tersebut akibat dari ia gagal menggambar
bunga. Ia mengajar anaknya agar bisa mengambil hikmah (dan terobosan)
ketika menghadapi sebuah kegagalan.
Si ibu
tahu betul bahwa kepada anak harus diajarkan keberanian untuk mencoba
kemampuan, kejelian untuk melihat kemungkinan, keyakinan dalam memilih
strategi dan kesempatan untuk melaksanakanan strategi pilihannya. Ia
juga tahu betul bahwa semua proses itu harus dikenalkan sejak dini, agar
proses belajar untuk memecahkan masalah bila memberikan hasil optimum.
Ia sadar bahwa semakin banyak contoh cara memecahkan masalah yang ia
berikan, akan membuat makin berkembang pula kemampuan anaknya dalam
menangani masalah.
Bisa
dibayangkan, bagaimana jadinya bila ketika menghadapi ketidakbisaan anak
perempuannya, si ibu berkata "Kamu bodoh, menggambar bunga saja nggak
bisa !!!". Atau berkata "Gimana sich kamu ini, membuang-buang kertas dan
cat saja". Tentu saja si anak akan merasa gagal. Ia akan kehilangan
kepercayaan diri, merasa rendah diri. Dan ini bukan masalah sepele.
Karena akan sangat menghambat kemampuannya dalam menanggapi dan
menyelesaikan masalah-masalah yang lain. Tentu kita masih ingat dengan
begitu banyaknya kasus bunuh diri di kalangan anak-anak, akibat dari
ketidakmampuannya dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah.
Atensi
si ibu akan aktivitas melukis dari anak-anaknya juga merupakan hal
tepat sebab memang sesungguhnya otak belahan kananlah yang lebih dulu
berkembang. Dalam tulisannya yang berjudul Pendidikan Dimulai dari otak
Kanan (bagian dari buku Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif, 2001), Salomon
Simanungkalit mengungkapkan bahwa perkembangan otak belahan kanan sudah
dimulai sejak anak berusia nol tahun. Sedangkan otak belahan kiri
umumnya mulai berkembang pada saat anak berumur enam tahun. Dan
aktivitas melukis yang mengandalkan kemampuan akan berkhayal, mengasah
rasa seni adalah kerja otak kanan.
Otak
kanan juga yang bertanggungjawab atas kemampuan mengendalikan emosi.
Sehingga sungguh sebuah tindakan luar biasa, yang sangat tepat, ketika
sambil melukis bunga, si ibu juga mengajarkan cara mengoper kuas dan
cat, sehingga ia dan kelima anaknya mempunyai kesempatan yang sama untuk
menggambar. Secara tidak langsung hal ini melatih anak untuk
mengendalikan ego masing-masing, menanamkan makna bekerja sama dan
berbagi, melatihnya mengandalikan emosi. Artinya menstimulus kecerdasan
emosi anak-anaknya.
SELAIN KECEDASAN INTELEKTUALl
Hingga
kni masih banyak orang (tua) yang memuja kecerdasan intelektual yang
mengandalkan kemampuan berlogika semata. Orang tua merasa bangga dan
berhasil mendidik anak, bila melihat anak-anaknya mempunyai nilai rapor
yang bagus, menjadi juara kelas. Tentu saja hal ini tidak salah, tetapi
tidak juga benar seratus persen. Karena beberapa penelitian justru
menunjukkan bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan
spirituallah yang lebih berpengaruh bagi kesuksesan seorang anak.
Hasil
penelitian Daniel Goleman (1995 dan 1998) memperlihatkan bahwa
kecerdasan intelektual hanya memberi kontribusi 20 persen terhadap
kesuksesan hidup seseorang. Yang 80 persen bergantung pada kecerdasan
emosi, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritualnya. Bahkan dalam hal
keberhasilan kerja, kecerdasan intelektual hanya berkontribusi empat
persen.
Sebuah
survei terhadap ratusan perusahaan di Amerika Serikat, mengungkapkan
bahwa kemampuan teknis/analisis bukan hal yang menentukan keberhasilan
seorang pemimpin/manajer. Yang terpenting justru kemauan, keuletan
mencapai tujuan, kemauan mengambil inisiatif baru, kemampuan bekerja
sama dan kemampuan memimpin tim.
Hasil
identik juga disimpulkan dari penelitian jangka panjang terhadap 95
mahasiswa Harvard lulusan tahun 1940-an. Puluhan tahun kemudian, mereka
yang saat kuliah dulu mempunyai kecerdasan intelektual tinggi, namun
egois dan kuper, ternyata hidupnya tak terlalu sukses (berdasar gaji,
produktivitas, serta status bidang pekerjaan) bila dibandingkan dengan
yang kecerdasan intelektualnya biasa saja tetapi mempunyai banyak teman,
pandai berkomunikasi, mempunyai empati, tidak temperamental sebagai
manifestasi dari tingginya kecerdasan emosi, sosial dan spiritual.
Pertanyaannya adalah, bagaimana cara untuk menumbuhkan kecerdasan emosi, sosial dan spiritual pada anak-anak kita?
KERJA PENGASUHAN
Menurut
John Gottman dan Joan DeClaire dalam The Heart of Parenting (Kiat -
kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, 1997), cara
pembelaja-ran pengetahuan emosional adalah dengan menyadari perasaan
anak dan mampu berem-pati, menghibur dan membimbing mereka. Sementara
Marsha Sinetar dalam bukunya Spiritual Intelligence (Kecerdasan
Spiritual, 2000) mengungkapkan bahwa melalui teladanlah, anak bisa
meningkatkan kecerdasan spiritualnya.
Ini
artinya, upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosi, kecerdasan sosial
dan kecerdasan spiritual anak tidak bisa sepertihalnya upaya
meningkatkan kecerdasan intelektual yang bisa dipacu dengan memasukkan
ke sekolah-sekolah favorit (yang umumnya adalah sekolah mahal), atau
menjejali anak dengan aneka macam les. Sementara orang tua dituntut
menyediakan uang sebanyak mungkin. Yang pada akhirnya kerap dianggap
sebagai alasan tepat oleh para ibu untuk ikut mencari uang (umumnya di
ruang publik).
Dan
hasilnya, setiap tahunnya terjadi kenaikan tingkat partisipasi angkatan
kerja (TPAK) perempuan, khususnya di sektor informal dibandingkan dengan
TPAK laki-laki. Bila pada tahun 1980, prosentase TPAK perempuan 'baru'
mencapai 58,1persen, pada tahun 2000 sudah menjadi 70 persen, naik 11,9
persen. Sangat terbuka kemungkinan prosentase ini akan terus meningkat,
terlebih saat ini gencar disosialisasikan bahwa agar supaya perempuan
mempunyai posisi tawar (terhindar dari aneka bentuk kekerasan) maka ia
harus mandiri, termasuk dalam hal ekonomi.
Di
sinilah letak permasalahannya. Kondisi ini, dimana kedua orang tua sibuk
di ruang publik, akan mereduksi kemungkinan anak bisa meningkatkan
kecerdasan emosi, sosial dan spiritualnya. Sebab kecerdasan seperti ini
sangat dipengaruhi oleh teladan dan sentuhan personal yang penuh rasa
cinta, atensi dan apresiasi. Dalam konteks itulah aktivitas pengasuhan
menjadi urgen. Dan pengasuh terbaik bagi seorang anak adalah ibunya.
Sebab ibulah, sosok yang paling dikenal oleh anak.
Bukankah
mereka (ibu dan anak) pernah mengalami 'hidup bersama' selama sembilan
bulan? Bukankah ibu pula sosok yang melalui payudaranya memberinya makan
di awal kehidupannya. Jadi tidaklah berlebihan bila ada ikatan yang
sangat kuat antara ibu - anak. Belum lagi kondisi natural seorang
perempuan yang memang sangat tepat untuk melaksanakan kerja pengasuhan.
Kondisi - kondisi ini merupakan modal besar dalam proses pembelajaran
emosi, sosial dan spiritual anak. Akankah hal ini disia-siakan?
Semestinya tidak…
Saya
berharap, peringatan Hari Ibu kali ini dapat menyadarkan kita semua,
termasuk juga Pemerintah akan urgensi kerja pengasuhan serta besarnya
potensi yang dimiliki oleh para ibu terhadap keberdayaan anak-anaknya.
Sebagaimana ungkapan Dorothy Canfield Fisher bahwa "Seorang ibu bukan
seorang untuk dijadikan sandaran, tetapi seseorang.
Sumber : Info Anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar