Senin, 28 Januari 2013

Seri Pengetahuan (Sains) "Panca Indera"


Buku Seri Pengetahuan Anak “Panca Indera” ini memberikan pengetahuan dan informasi yang menarik serta detail mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Panca Indera makhluk hidup. Banyak informasi unik yang kebanyakan dari kita belum mengetahuinya.

Seperti kemampuan visual pada hewan serangga serta komponen penglihatannya, juga mengenai sistem  indera pada manusia.Selain informatif, buku ini disajikan dengan menarik dan dilengkapi dengan gambar-gambar yang menunjang sehinga akan membangkitkan minat kita untuk membaca dan menambah pengetahuan melalui buku ini.

Overall buku ini sangat menarik dari segi informasi, detail hingga foto ilustrasi yang menawan. Dengan packaging seperti ini buku ini dapat meningkatkkan minat anak untuk mau membaca dan mempelajari mengenai Panca Indera  

Kamis, 24 Januari 2013

Peran Penting Ibu Dalam Menumbuhkan Kecerdasan Anak

Suatu sore, tampaklah seorang ibu, dengan lima orang anaknya, sedang berkumpul di dapur. Mereka mengelilingi sebuah meja dimana diatasnya terdapat 'potongan' kertas dan kotak melukis yang berisi delapan warna dan sebatang kuas. Mereka akan melukis bersama-sama, belajar menggambar bunga. 

Di tengah keasyikan dan kegembiraan melukis, tiba-tiba ada nuansa ketidaksenangan dari anak perempuan terkecilnya. "Ada apa, sayangku?", tanya si ibu. "Salah satu kelopak bungaku tampak seperti daun" jawab anak kecil itu, hampir menangis karena kelopak bunganya tidak tampak seperti kelopak bunga. "Biar kulihat", ujar si Ibu. "Oh ya, baiklah. Tambahkan dengan warna hijau. Sekarang, kelopak bunga itu berubah menjadi daun". Tentu saja si anak tidak jadi menangis. 

Ia tertawa gembira cerita di atas saya cuplik dan tutur ulang dari pengalaman nyata Margo Marshall - Olmstead akan ibunya saat mereka tinggal di Ferryden, sebuah desa nelayan si pesisir timur Skotlandia (Lesson from Mom, 2004). 

POTENSI IBU 

Briliyan !!!! Hebat !!!!! Luar biasa !!!!!. Itulah yang deretan kata (dan masih banyak lagi yang lainnya) yang pantas kita ucapkan sebagai apresiasi terhadap cara ibu tersebut mengatasi 'masalah' yang dihadapi anak perempuannya. Ia seakan paham betul dengan kata bijak Pablo Picasso, seorang pelukis genius, bahwa 'Setiap bocah adalah seniman. Masalahnya bagaimana cara mempertahankannya agar ia tetap menjadi seniman ketika dewasa'. Itu sebabnya ia berupaya agar anak perempuan terkecilnya tidak patah semangat, sehingga dapat terus mengembangkan potensinya sebagai seniman. 

Tindakan yang ia ambil, tidak saja mencerminkan kecerdasan intelektualnya, namun juga menggambarkan kecerdasan emosinya, kemampuannya berempati. Ia memahami betul bila anak perempuannya bukanlah dirinya, yang sudah piawai melukis bunga. Ia mampu membuat anaknya tetap merasa berhasil (menggambar daun), walaupun hal tersebut akibat dari ia gagal menggambar bunga. Ia mengajar anaknya agar bisa mengambil hikmah (dan terobosan) ketika menghadapi sebuah kegagalan. 

Si ibu tahu betul bahwa kepada anak harus diajarkan keberanian untuk mencoba kemampuan, kejelian untuk melihat kemungkinan, keyakinan dalam memilih strategi dan kesempatan untuk melaksanakanan strategi pilihannya. Ia juga tahu betul bahwa semua proses itu harus dikenalkan sejak dini, agar proses belajar untuk memecahkan masalah bila memberikan hasil optimum. Ia sadar bahwa semakin banyak contoh cara memecahkan masalah yang ia berikan, akan membuat makin berkembang pula kemampuan anaknya dalam menangani masalah. 

Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya bila ketika menghadapi ketidakbisaan anak perempuannya, si ibu berkata "Kamu bodoh, menggambar bunga saja nggak bisa !!!". Atau berkata "Gimana sich kamu ini, membuang-buang kertas dan cat saja". Tentu saja si anak akan merasa gagal. Ia akan kehilangan kepercayaan diri, merasa rendah diri. Dan ini bukan masalah sepele. Karena akan sangat menghambat kemampuannya dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang lain. Tentu kita masih ingat dengan begitu banyaknya kasus bunuh diri di kalangan anak-anak, akibat dari ketidakmampuannya dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah. 

Atensi si ibu akan aktivitas melukis dari anak-anaknya juga merupakan hal tepat sebab memang sesungguhnya otak belahan kananlah yang lebih dulu berkembang. Dalam tulisannya yang berjudul Pendidikan Dimulai dari otak Kanan (bagian dari buku Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif, 2001), Salomon Simanungkalit mengungkapkan bahwa perkembangan otak belahan kanan sudah dimulai sejak anak berusia nol tahun. Sedangkan otak belahan kiri umumnya mulai berkembang pada saat anak berumur enam tahun. Dan aktivitas melukis yang mengandalkan kemampuan akan berkhayal, mengasah rasa seni adalah kerja otak kanan. 

Otak kanan juga yang bertanggungjawab atas kemampuan mengendalikan emosi. Sehingga sungguh sebuah tindakan luar biasa, yang sangat tepat, ketika sambil melukis bunga, si ibu juga mengajarkan cara mengoper kuas dan cat, sehingga ia dan kelima anaknya mempunyai kesempatan yang sama untuk menggambar. Secara tidak langsung hal ini melatih anak untuk mengendalikan ego masing-masing, menanamkan makna bekerja sama dan berbagi, melatihnya mengandalikan emosi. Artinya menstimulus kecerdasan emosi anak-anaknya. 

SELAIN KECEDASAN INTELEKTUALl 

Hingga kni masih banyak orang (tua) yang memuja kecerdasan intelektual yang mengandalkan kemampuan berlogika semata. Orang tua merasa bangga dan berhasil mendidik anak, bila melihat anak-anaknya mempunyai nilai rapor yang bagus, menjadi juara kelas. Tentu saja hal ini tidak salah, tetapi tidak juga benar seratus persen. Karena beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spirituallah yang lebih berpengaruh bagi kesuksesan seorang anak. 

Hasil penelitian Daniel Goleman (1995 dan 1998) memperlihatkan bahwa kecerdasan intelektual hanya memberi kontribusi 20 persen terhadap kesuksesan hidup seseorang. Yang 80 persen bergantung pada kecerdasan emosi, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritualnya. Bahkan dalam hal keberhasilan kerja, kecerdasan intelektual hanya berkontribusi empat persen. 

Sebuah survei terhadap ratusan perusahaan di Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa kemampuan teknis/analisis bukan hal yang menentukan keberhasilan seorang pemimpin/manajer. Yang terpenting justru kemauan, keuletan mencapai tujuan, kemauan mengambil inisiatif baru, kemampuan bekerja sama dan kemampuan memimpin tim. 

Hasil identik juga disimpulkan dari penelitian jangka panjang terhadap 95 mahasiswa Harvard lulusan tahun 1940-an. Puluhan tahun kemudian, mereka yang saat kuliah dulu mempunyai kecerdasan intelektual tinggi, namun egois dan kuper, ternyata hidupnya tak terlalu sukses (berdasar gaji, produktivitas, serta status bidang pekerjaan) bila dibandingkan dengan yang kecerdasan intelektualnya biasa saja tetapi mempunyai banyak teman, pandai berkomunikasi, mempunyai empati, tidak temperamental sebagai manifestasi dari tingginya kecerdasan emosi, sosial dan spiritual. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana cara untuk menumbuhkan kecerdasan emosi, sosial dan spiritual pada anak-anak kita? 

KERJA PENGASUHAN 

Menurut John Gottman dan Joan DeClaire dalam The Heart of Parenting (Kiat - kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, 1997), cara pembelaja-ran pengetahuan emosional adalah dengan menyadari perasaan anak dan mampu berem-pati, menghibur dan membimbing mereka. Sementara Marsha Sinetar dalam bukunya Spiritual Intelligence (Kecerdasan Spiritual, 2000) mengungkapkan bahwa melalui teladanlah, anak bisa meningkatkan kecerdasan spiritualnya. 

Ini artinya, upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosi, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual anak tidak bisa sepertihalnya upaya meningkatkan kecerdasan intelektual yang bisa dipacu dengan memasukkan ke sekolah-sekolah favorit (yang umumnya adalah sekolah mahal), atau menjejali anak dengan aneka macam les. Sementara orang tua dituntut menyediakan uang sebanyak mungkin. Yang pada akhirnya kerap dianggap sebagai alasan tepat oleh para ibu untuk ikut mencari uang (umumnya di ruang publik). 

Dan hasilnya, setiap tahunnya terjadi kenaikan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan, khususnya di sektor informal dibandingkan dengan TPAK laki-laki. Bila pada tahun 1980, prosentase TPAK perempuan 'baru' mencapai 58,1persen, pada tahun 2000 sudah menjadi 70 persen, naik 11,9 persen. Sangat terbuka kemungkinan prosentase ini akan terus meningkat, terlebih saat ini gencar disosialisasikan bahwa agar supaya perempuan mempunyai posisi tawar (terhindar dari aneka bentuk kekerasan) maka ia harus mandiri, termasuk dalam hal ekonomi. 

Di sinilah letak permasalahannya. Kondisi ini, dimana kedua orang tua sibuk di ruang publik, akan mereduksi kemungkinan anak bisa meningkatkan kecerdasan emosi, sosial dan spiritualnya. Sebab kecerdasan seperti ini sangat dipengaruhi oleh teladan dan sentuhan personal yang penuh rasa cinta, atensi dan apresiasi. Dalam konteks itulah aktivitas pengasuhan menjadi urgen. Dan pengasuh terbaik bagi seorang anak adalah ibunya. Sebab ibulah, sosok yang paling dikenal oleh anak. 

Bukankah mereka (ibu dan anak) pernah mengalami 'hidup bersama' selama sembilan bulan? Bukankah ibu pula sosok yang melalui payudaranya memberinya makan di awal kehidupannya. Jadi tidaklah berlebihan bila ada ikatan yang sangat kuat antara ibu - anak. Belum lagi kondisi natural seorang perempuan yang memang sangat tepat untuk melaksanakan kerja pengasuhan. Kondisi - kondisi ini merupakan modal besar dalam proses pembelajaran emosi, sosial dan spiritual anak. Akankah hal ini disia-siakan? Semestinya tidak…
Saya berharap, peringatan Hari Ibu kali ini dapat menyadarkan kita semua, termasuk juga Pemerintah akan urgensi kerja pengasuhan serta besarnya potensi yang dimiliki oleh para ibu terhadap keberdayaan anak-anaknya. Sebagaimana ungkapan Dorothy Canfield Fisher bahwa "Seorang ibu bukan seorang untuk dijadikan sandaran, tetapi seseorang. 

Sumber : Info Anak

Kamis, 27 Desember 2012

Kamus Indonesia-Inggris-Mandarin




Judul       : Kamus Tematik 3 Bahasa
Seri          : Hobi, Rumah Sakit, Pekerjaan, Pasar, Makanan & Minuman, Keluarga, Transport dll
Harga      : Rp 23.000

Dunia teknologi dan bisnis internasional yang semakin maju beberapa tahun ini membuat bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin sangat penting untuk dikuasai. Nah, lebih efektif bila anak anda sejak kecil sudah diajari mengenai kosakata ketiga bahasa tersebut. Karena pada usia yang masih belia mereka akan lebih mudah menyerap dan menghafal kata-kata.

Buku “Kamus Tematik 3 Bahasa” seri Hobi ini akan membantu penguasaan kosakata anak terhadap macam-macam jenis hobi seperti menggambar, melukis, memelihara burung dan masih banyak yang lainnya kedalam bahasa Inggris dan Mandarin. Disertai dengan ilustrasi gambar yang menarik dan full colur akan semakin mempermudah anak dalam belajar.

Yang menarik, anak akan distimulasi untuk tertarik mempelajari kosakata baru melalui ilustrasi yang disajikan.

Mengajari Anak Untuk Berbuat Sopan


 Anak berusia enam sampai 12 tahun merupakan usia rentan di mana mereka sering kali meniru kata-kata kasar, baik dari teman atau lingkungannya. Tingkah lakunya ini tentu membuat Anda terserang sakit kepala hebat. Bagaimana tidak ketika anak tidak sopan tentu akan memberikan dampak buruk pandangan orang terhadap pola asuh orangtuanya.
Biasanya, di usia enam sampai 12 tahun inilah anak-anak susah diatur dan jarang mendengarkan ucapan orangtua. Salah satu cara untuk mengatasinya, dengan menanamkan sikap positif agar anak-anak tidak meniru kebiasaan buruk yang ada pada lingkungan. Dan berikut cara lainnya yang dapat Anda lakukan untuk mengatasi tingkah laku anak tidak sopan:
  • Menanamkan nilai positif sejak kecil dengan kebiasaan pola hidup yang baik dari orangtua. Misalkan, mengajarkan mereka dengan kata-kata ajaib seperti terimakasih, maaf, pemirsi, dan kata-kata sopan lainnya. Jika hal ini ditanamkan sejak kecil, mereka akan selalu terbiasa dengan hal tersebut meski dipengaruhi oleh lingkungannya.
  • Berkomunikasi dengan baik bersama anak, dengan meluangkan waktu Anda untuk duduk bersama di meja makan. Di sini Anda dapat menanyakan aktifitas apa yang dilakukan oleh anak, seperti sekolahnya atau teman-temannya. Jika menemukan tingkah anak tidak sopan di sekolahnya, jalinlah komunikasi yang baik dengan gurunya dan segera mengambil tindakan untuk anak.
  • Mengingatkan mengenai larangan-larangan yang memang tidak boleh dilakukan. Misalkan anak boleh bermain dengan siapa saja namun ada batasannya sepeti tidak mengikuti kebiasaan teman seperti membolos, berkata tidak sopan dan lainnya.
Jangan lelah untuk selalu membimbing dan memberikan pelajaran positif sedini mungkin. Hadapi masalah anak tidak sopan sebagai salah satu pengalaman dalam kehidupan Anda. Pengalaman ini tentu dapat menjadi pembelajaran tersendiri ataupun dibagi bersama orangtua lainnya.

Rabu, 26 Desember 2012

Standar Penilaian Dalam Kurikulum 2013

Perubahan kurikulum yang akan diberlakukan pada 2013 mendatang memiliki tujuan untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa untuk aktif. Pada kurikulum baru, siswa bukan lagi menjadi obyek tapi justru menjadi subyek dengan ikut mengembangkan tema yang ada.

Dengan adanya perubahan ini, tentunya berbagai standar dalam komponen pendidikan akan berubah. Baik dari standar isi, standar proses maupun standar kompetensi lulusan. Lalu bagaimana dengan standar penilaian? Apa yang akan dinilai oleh para guru dengan sistem pengajaran yang berbeda ini?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa standar penilaian pada kurikulum baru tentu berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Mengingat tujuannya untuk mendorong siswa aktif dalam tiap materi pembelajaran, maka salah satu komponen nilai siswa adalah jika si anak banyak bertanya.

"Jadi nanti didasarkan pada keaktifan anak bertanya saat sedang belajar. Biasanya kan anak-anak malas bertanya, ini tidak bisa lagi," ujar Nuh di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (21/12/2012).

Selain keaktifan bertanya, komponen lain yang akan masuk dalam standar penilaian adalah proses dan hasil observasi siswa terhadap suatu masalah yang diajukan guru. Kemudian, kemampuan siswa menalar suatu masalah juga menjadi komponen penilaian sehingga anak terus diajak untuk berpikir logis.

"Kemampuan nalar ini juga yang penting. Di kurikulum baru, ini akan masuk standar penilaian untuk anak," jelas Nuh.

"Yang terakhir adalah kemampuan anak berkomunikasi melalui presentasi mengenai tema yang dibahas," tandasnya.

Sumber : Standar Kurikulum 2013

Strategi Mendidikan Terampil & Smart

 


Puncak aktivitas gerak anak berada pada usia 4-6 tahun? Dan pada saat ini tengah aktif digalakkan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Maka dari itu para orang tua seharusnya memaksimalkan dalam melatih skill dasar anak ketika sang buah hati telah menginjak usia lebih dari 3 tahun. 

Buku ""Menjadi Terampil & Smart" ini menyajikan berbagai macam latihan yang variatif & ekselen untuk anakmelalui aktivitas gerak halus, seperti aktivitas mewarna, melipat, menggunting, dan sebagainya. Ditambah proses yang interaktf antara anak dan guru/ortu akan semakin menambah efketifitas belajar.

Buku ini dibuat sebagai pegangan buat orang tua, guru, bunda PAUD, dan siapapun yang 'concern' dengan Pendidikan Anak Usia Dini. Harapannya, anak tumbuh menjadi anak yang bugar, cerdas, berkarakter, dan berprestasi. Untuk mengetahui mengenai detail buku dapat dibuka di Menjadi Terampil & Smart

Sabtu, 22 Desember 2012

Hak Asuh Balita Mutlak oleh Ibu

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak Komisi Yudisial untuk meninjau putusan pengadilan yang menyerahkan hak pengasuhan anak di bawah enam tahun kepada pihak ayah. Demi kepentingan pertumbuhan anak, sebaiknya anak di usia tersebut diasuh ibunya.

Ketua KPAI Seto Mulyadi mengatakan itu dalam konferensi pers di Komisi Yudisial, Jln. Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (31/10).

Di Jakarta, KPAI menemukan kasus dimana anak bayi berusia 1,5 bulan dan 3 bulan harus diasuh ayahnya sehingga kedua anak tersebut kesulitan mendapat air susu ibu (ASI). Bagaimanapun, hanya ibu secara psikologis yang bisa memberikan kenyamanan bagi bayi. “Beberapa kasus banyak ibu-ibu yang dipersulit bertemu anaknya sekalipun untuk memberikan ASI. Kami mohon perhatian dari KY untuk melihat kembali berbagai putusan pengadilan pada saat kasus anak di bawah umur khususnya di bawah lima tahun diserahkan kepada ayahnya,” ujar Seto.

Seto memberikan beberapa pengecualian hak asuh diberikan kepada ayah, yaitu jika sang ibu menderita sakit jiwa, pecandu narkoba, atau memang keinginan anak untuk diasuh ayah. Namun, untuk anak berusia di bawah enam tahun harus diasuh oleh sang ibu.
Pada beberapa kasus di Jakarta ditemukan latarbelakang faktor kekuasaan yang dimiliki orangtua sang ayah sehingga dapat mempengaruhi putusan hakim. “Kadang ada faktor kekuasaan, ekonomi, dan sebagainya. Yang dimaksud faktor kekuasaan itu seperti mungkin sang ayah orangtuanya pejabat yang dianggap lebih mampu,” ucapnya.

Sumber : Berita Anak